Selamat Datang di WEBSITE ASYIK

Selamat membaca!
Jangan lupa untuk kasih comment ya..
Thanx banget!

Senin, 03 November 2008

Supriyadi adalah Andaryoko?

Supriyadi yang lahir di Trenggalek, Jawa Timur pada tanggal 13 April 1923 merupakan pahlawan nasional Indonesia, pemimpin pemberontakan pasukan Pembela Tanah Air (PETA) terhadap pasukan pendudukan Jepang di Blitar pada 14 Februari 1945. Ia ditunjuk sebagai menteri keamanan rakyat pada kabinet pertama Indonesia, Kabinet Presidensial, tetapi digantikan oleh Soeljadikoesoemo pada 20 Oktober 1945 karena Supriyadi tidak pernah muncul lagi pasca pemberontakan pasukan PETA melawan Dai Nippon. Bahkan, ada berita yang mengatakan bahwa Supriyadi telah gugur. Oleh karena itu, untuk menghormatinya, dibangun monumen yang terletak di depan markas PETA (depan TMP Raden Wijaya) tepatnya di Jl. Soedanco Supriyadi dan patung setengah dada Supriyadi yang yang terletak di depan Pendapa Kabupaten Blitar.

Namun, keberadaan Supriyadi terjawab pada Sabtu, 8 Agustus lalu setelah 63 tahun misteri ini selalu menjadi misteri. Pejuang kemerdekaan itu muncul dalam sebuah acara peluncuran buku di Toko Buku Gramedia Semarang, Jl Pandanaran. Buku yang dibedah juga terkait dirinya, yakni 'Mencari Supriyadi, Kesaksian Pengawal Utama Presiden'. Sosok Supriyadi benar-benar datang dalam acara yang dihadiri sekitar 60 orang tersebut. Yang bertindak sebagai pembicara adalah sejarawan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Baskara T. Wardaya. Supriyadi sempat diwawancarai wartawan Jerman. Dia mengaku dirinya tidak mati atau hilang. Saat ini, usianya sudah sangat lanjut, yakni sekitar 89 tahun.

Sekarang, namanya bukan lagi Supriyadi, melainkan Andaryoko Wisnuprabu, pensiunan Sekretaris Karisidenan Semarang, Jawa Tengah. Tapi dalam wawancara itu, dia mengaku sebagai Supriyadi. Menurut penuturannya, ia mengganti namanya menjadi Andaryoko Wisnuprabu untuk menghindari penangkapan dari tentara Jepang (karena situasi pada saat itu tidak aman). Selain itu, dia juga memelihara kumis untuk menyembunyikan identitasnya.

Namun banyak sejarawan yang menyangsikan keaslian Supriyadi tersebut karena pengakuannya dalam buku yang diluncurkannya dianggap bertentangan dengan sejarah. Beberapa di antara yang menjadi sumber sejarah mengenai Supriyadi pun meminta Andaryoko ditangkap saja. Reaksi yang bisa dinilai sangat berlebihan dan sepertinya menyimpan maksud tertentu, salah satunya takut kesaksiannya selama ini tentang sosok Supriyadi dipatahkan. Banyak pula orang yang berpikir, mengapa Supriyadi baru mengaku sekarang setelah 63 tahun berlalu. Menurut Andayoko, dirinya baru mengaku sekarang karena jika mengaku saat Soeharto masih hidup pasti akan ditahan karena kedekatannya dengan Soekarno. Sejarah Supriyadi pun sengaja dibelokkan oleh rezim orde baru pada tahun 1975 seolah-olah Supriyadi sudah meninggal.

Andaryoko tidak mempersalahkan orang-orang yang tidak mengakui dirinya sebagai Supriyadi. Keinginannya hanyalah meluruskan sejarah yang selama ini tidak lurus sesuai dengan amanat Soekarno. Walaupun, mungkin yang Andaryoko luruskan ini masih menyimpan ketidakbenaran. Namun, beginilah seharusnya sejarah itu dibentuk. Tidak boleh ada monotafsir. Sejarah haruslah multitafsir agar pencarian ketidakbenaran tidak berhenti karena tidak ada kebenaran di dunia ini yang bersifat mutlak. Andaryoko ingin mengungkap fakta sejarah Indonesia saat awal-awal kemerdekaan yang sebenarnya. Ia ingin masa depan Indonesia lebih baik sehingga sejarah bangsa yang benar harus diungkapkan.

Menurut Andaryoko, pascapemberontakan gagal di Blitar, dirinya bersembunyi dari hutan ke hutan dari Blitar hingga Ngawi selama tiga bulan, sebelum kemudian tiba di Semarang pada Juli 1945. Dia diterima Wakil Residen Semarang Wongsonegoro. Supriyadi lantas diminta mengganti nama agar tidak diketahui tentara Jepang. Demi keselamatan bersama, ia setuju. Rahasia itu ia tutup rapat-rapat, termasuk di depan istri dan anak-anaknya hingga diungkap tahun ini. Menurut Andaryoko, pembangkangan Blitar dilakukan sekitar 200 anggota Peta yang menyerang markas Jepang pada pukul 02.00 WIB, 14 Februari 1945. "Banyak yang mati dalam perang dadakan itu," kata Andaryoko. Pejuang Peta kalah karena Jepang meminta bala bantuan dari Kediri, Malang, dan sekitarnya. Akhirnya, pejuang Peta pun lari menyelamatkan diri dan mengungsi ke hutan mulai dari Blitar Selatan, Alas Purwo dan Ketonggo, Ngawi. Mereka bersembunyi hingga bulai Mei 1945.

Pada Mei 1945 itu, Andaryoko keluar hutan dan menemui Bung Karno di Jakarta. Pada saat bersamaan, Bung Karno ikut sidang BPUPKI. "Saya diterima pengawal Presiden. Bung Karno pada awalnya tidak percaya. Tapi saya katakan, 'Bung, Anda itu pemimpin. Kalau tidak memercayai orang sendiri, saya harus percaya kepada siapa'," paparnya. Akhirnya, Andaryoko diajak ke ruang belakang dan berbincang macam macam. Saat itulah, dia berhubungan langsung dengan Bung Karno. Presiden pertama RI itu menyebut Andaryoko dengan sebutan Sup (Supriyadi). Pada saat itulah Bung Karno berpesan kepada Andaryoko alias Supriyadi. "Sup, kamu kan mengalami sendiri sejarah bangsa ini. Tolong kalau kamu diberi umur panjang, kamu ceritakan semua yang kamu ketahui."

Dari tokoh nasional yang pernah ada, selain Bung Karno, mantan gubernur Jateng dan mendagri Soepardjo Roestam mengenalinya. Tapi hingga akhir hayat, mantan ajudan Panglima Besar Jenderal Sudirman itu tidak pernah membocorkan identitas Andaryoko.

Banyak sekali dari informasi yang Andaaryoko sampaikan banyak berbeda dengan fakta historis. Yang menjadi tanda tanya dalam jawaban yang diberikan oleh Andaryoko Wisnuprabu (mungkin lupa), banyak keterangan yang tidak akurat.

Andaryoko mengatakan, persiapan penyusunan naskah proklamasi dilakukan di rumah Soekarno. Tetapi, semua sumber menyebutkan bahwa itu dilakukan di rumah Maeda yang kini terletak di Jalan Imam Bonjol Jakarta.

Beliau juga menuturkan, naskah proklamasi tersebut ditulis oleh Bung Karno sekitar pukul 04.00 WIB, 17 Agustus 1945. Setelah selesai, Bung Karno kemudian memberikan naskah itu kepada para pemuda yang berkumpul di rumahnya, Jalan Pegangsaan Timur No 56. Naskah itu selanjutnya diketik oleh Sayuti Melik. Usai mengetik, Melik meremas-remas naskah (teks proklamasi yang ditulis Bung Karno) itu. Dia pikir kertas itu tidak diperlukan lagi karena sudah ada naskah ketikan. Naskah itu dibuang ke tempat sampah. Usai mandi, Bung Karno melihat ulang naskah proklamasi yang diketik Sayuti Melik. Lalu dia bertanya soal naskah aslinya. Beruntung, naskah asli itu tidak dirobek. Hanya diremas sampai kumal. Setelah itu, naskah itu disetrika dan menjadi bagus lagi. Bung Karno mengantonginya dan sekarang disimpan di Arsip Nasional. Tapi versi lain menyebutkan, naskah dipungut dari tempat sampah oleh BM Diah dan baru diserahkan kepada Presiden Soeharto pada tahun 1992.

Andaryoko juga mengakui bahwa dia ikut menaikkan bendera Merah Putih pada 17 Agustus. Selama ini diketahui bahwa pengibar bendera itu adalah Abdul Latief Hendraningrat. Latief mengatakan dibantu seorang pemuda bercelana pendek yang kemudian diketahui bernama Suhud. Apakah Suhud itu kemudian berganti nama menjadi Andaryoko?

Pada saat sidang BPUPKI, ia ikut membawakan tas Bung Karno dan ikut ke Rengasdengklok. Ia juga menyatakan sidang-sidang untuk menetapkan UUD ‘45 di gedung juang yang sekarang. Menurut historis, sidang itu di gedung Pantjasila yang sekarang berada di dalam kompleks Deplu Pejambon. Tahun 1945, ia menolak untuk ikut dalam pemerintahan karena ia memprediksi dalam 20 tahun lagi akan ada huru-hara di Indonesia dan ketika itu pengikut Bung Karno akan dibunuh atau disingkirkan sehingga ia memilih di luar pemerintahan. Menurut sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, itu klenik, mistis karena CIA saja tidak bisa meramalkan dengan tepat.

Ketika moncong meriam ditujukan ke Istana pada 17 Oktober 1952, ia kebetulan juga berada di Istana Merdeka. Tatkala terjadi penyerahan Supersemar (Surat Perintah 11 Maret) 1966, ia juga ada di Istana Bogor. Jadi, banyak sekali kebetulan yang menimbulkan tanda tanya. Pengakuan Andaryoko dipertanyakan karena ia hadir di mana-mana. Andaryoko juga menampilkan versi baru kasus Supersemar, yakni surat itu tidak pernah ada.

Saat itu beliau hadir di Istana Bogor (di ruang lain bersama Tukimin, pembantu rumah tangga Bung Karno). Saat itu ada tiga orang jenderal ke Istana membawa map, tetapi Soekarno tidak mau membubuhkan tanda tangannya sehingga mereka pulang ke Jakarta dengan tangan hampa.

Dalam penuturannya, banyak pernyataan Andaryoko yang berbeda dengan fakta sejarah yang beredar saat ini. Hal inilah yang perlu diteliti lebih lanjut. Apakah pernyataan yang dituturkan Andaryoko benar adanya atau apakah kebohongan belaka yang diciptakan sekadar mencari sensasi atau memiliki maksud lain dari pernyataan itu? Dari segi wajah, Andaryoko memang mirip dengan Supriyadi saat masih muda. Alasan pengungkapan identitas diri yang baru diungkapkan sekarang setelah Soeharto tidak berkuasa lagi juga dapat diterima. Namun, pernyataannya mengenai sejarah yang berbeda inilah yang masih menjadi teka-teki. Yang menarik pula adalah Andaryoko menyatakan siap dikonfrontasi jika ada pihak-pihak yang masih meragukan identitasnya sebagai Supriyadi. Terlepas dari benar tidaknya beliau adalah Supriyadi, bukankah beliau adalah salah seorang pejuang kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang pantas diberi apresiasi atas jasanya?

Tidak ada komentar: